In The Mood vs PLN Pontianak
By A. Alexander Mering
Dengan hati miris saya membuka program MP3 dengan volume sayup. Bersandar di kursi merah plastic, di depan computer tua, di ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu. Mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan perasaan dan akal sehat saya dengan mengklik Glan Miller dengan In the Mood-nya.Tapi taik kucing! Perasaan saya tak mudah disulap. Sudah beberapa pekan ini terasa teramat berat untuk di pikul sendiri. Sementara Dr Yusriadi adan H Nur Iskandar pasti tengah melaju dengan tulisannya masing-masing, tentang pengalaman dan fikirannya sebagai jurnalis.Sementara saya belum selembar tulisan pun diketik. Kecuali potongan-potongan kalimat dan beberapa file tak terselesaikan. Saya seperti dibetot kedunguan yang membuat orang bisa menjadi lebih goblok dari sebelumnya.
Yusriadi adalah Doctor jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dengan predikat cemerlang dan redaktur di Borneo Tribune. Nur Iskandar pula adalah pimpinan sekaligus sahabat saya. Dia salah satu wartawan berprestasi di west Borneo yang karena idealismenya dipecat Djunaini KS dari Harian Equator. Nur Iskandar mau pun Yusriadi turut dipecat bersama saya dan dua rekan redaktur lain dari anak perusahaan Jawa Pos group itu akhir November 2006 lalu. Nur Iskandar menjabat Redaktur Pelaksana menjelang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), tapi kini dia adalah salah satu direktur di perusahaan PT Borneo Tribune Press dan Pimred harian Borneo Tribune.
Saya mulai marah pada diri sendiri, karena keadaan seperti ini membuat saya jengah dan malu. Apalagi Nur Iskandar beberapa kali menyindir saya di kantor—sebenarnya bukan kantor, tetapi sekretariat pinjaman di Parit Haji Husin II, beberapa langkah dari rumah Junaini KS— soal naskah yang nanti akan dikompilasi menjadi sebuah buku.
“Jangan nanti bilang menyesal, saat bukunya diterbitkan.”
Di lain waktu dia mengatakan saya malas. Padahal entah berapa paragraph kalimat sudah saya ketik terpisah, tapi tak satu pun rampung menjadi kisah yang utuh. Saya mulai tak tahan dan kecil hati.
Tiupan saxophone The Benoit menyenandungkan Club Havana, menggantikan Glan Miller sama sekali tak berjaya menghibur saya. Di luar ayam sudah berkokok 3 kali.
Ada 3 file terpisah yang sudah saya ketik di komputer rumah. Dua lagi di computer kantor. Tetapi tak satu pun rampung. Ide dan imajinasi saya seperti digantang asap, terkurung dalam dapur pengap. Tiap kali mulai menulis, akal sehat di tempurung kepala saya rasa tersumbat. Jemari berhenti menekan tuts keyboard, karena otak yang sedianya mengirimkan pesan, tiba-tiba mogok mendadak. Tak ubahnya mesin deasel yang kehabisan minyak.
Berkali-kali saya paksa onderdil paling cerdas dari kemanusian saya itu bekerja, tetapi tetap saja butek. Saya ketok-ketok kepala saya dengan tangan. Busyet, tak juga mau menyala! Padahal saya sangat membutuhkannya saat ini. Untuk merekonstruksi atau sekedar mengingat sesuatu yang pantas diketik. Saya sudah terlanjur malu dan tidak mau dicap journalist tukang ngecap.
Tapi ya ampun…? Sampai pukul dua dini hari, di depan computer mengerahkan segenap kemampuan hingga mata pedih, klik di otak saya tetap saja tak membuka.
***
Berbagai upaya sudah saya coba, sejak 3 pekan terakhir ini. Empat judul buku saya lahap dalam seminggu. Dua buku diantaranya 505 dan 598 halaman, tentang Kesusastraan Melayu Tionghoa dan 1421 Saat Cina menemukan Dunia karya Gavin Menzies yang menjadi Bestseller internasional. Saya hajar otak saja dengan membaca, terkadang hingga pukul 4 pagi! Masih juga belum siuman.
Minggu lalu saya pergi memancing bersama teman-teman untuk sekedar mencari inspirasi. Sesekali ngoborol di pos ronda depan komplek, bergadang sambil minum kopi dengan teman-teman atau nonton film kartun dengan Hedwigis Novellindu Hening, putri sulung saya. Tapi taik kucing! Tetap saja otak saya goblok!
Kemana kemampuan saya yang bisa menulis dua cerpen dalam semalam di tahun 1994-1997 lalu? Mana kecerdasan saya yang telah menulis sebuah tulisan panjang 10 ribu kata dalam 2 malam bulan lepas? Mana minda yang pernah saya asah selama 3 tahun 4 bulan di universitas, dua minggu di pantau dan sejumlah kursus journalistik, yang saya jejal dengan majalah, buku-buku sejarah, komik silat, filsafat, novel, sastra dan sebagainya? Mana Wisnu Pamungkas (nama samaran saya) yang bisa mengarang 4 puisi dalam sehari? Mana? Oiii….Poekemae…!?
“Blaab!!” Listrik tiba-tiba padam. Saxophone Glenn Miller baru 1 menit 45 detik mengalunkan Tuxedo Junction pun soak dan senyap. Seluruh ruangan rumah gelap. Komputer saya turut semaput karena tak dilengkapi UPS. Hati saya kecut dan marah. Sangat Marah! Beberapa detik kemudian listrik menyala semula, tapi lebih dari separuh ketikan yang saya susun dengan susah payah lenyap!
Poekemae!” maki saya dalam hati. Karena sudah larut saya ogah membuka program MP3 lagi. Saya terlanjur geram tapi tak tahu harus bicara pada siapa. Orang disekitar sudah lama terlelap. Listrik padam pun mereka tak sadar. Tapi saya perlu membagi perasaan sebelum emosi saya cidera. Saya lantas mengirim Short Massage Service (SMS) kepada Nur Iskandar.
“Malam ini sya benar2 marah. Sya sudah berjuang membangunkan dri sendiri untuk menulis bku kita. Apalagi ditampar dg kta malas. Sya sdh mengetik 3 hlmn, dr 5 tlisan yg tak slesai. Listrik tiba2 pdm. Rasanya prcuma punya Negara, tpi ngurus listrik saja tak bisa! Aku mulai phobia terhadap negara. Maaf.”
Tak puas dengan SMS pertama, aku lantas mengirimkan curhat kedua, masih via SMS:
“Memiliki negara ternyata tk menyelesaikan apa2. Bahkan masalah rakyatnya yang paling esensial.”
Saya menunggu, tapi tak ada balasan. Mungkin sudah lena. Tadi siang dia sakit kulit. Wajah hingga ujung kaki dihiasi bintik-bintik merah seperti biduran. Mungkin alergi.
Sudah bertahun-tahun listrik byar-pet dan menjadi biasa negeri ini. Malam ini ‘kebiasaan’ itu menaikkan tensi emosi saya yang sedang bergulat dengan diri sendiri. Belum lagi pemadaman bergilir atau mendadak sepanjang tahun yang tak perlu saya ceritakan di sini. Alasannya mesin sudah tua dan perlu perawatan. Adakah negeri ini dibangun tanpa perencanaan? Benar-benar menjengkelkan dan bila diakumulasikan, kisah-kisah begini bisa membuat beberapa orang seperti saya jera memiliki negara. Lebih baik sepotong kampug misalnya, atau apa saja, tanpa jor-joran politik yang membingungkan rakyat, tetapi hidup warga terurus dengan baik. Rakyat aman, tidak miskin dan merdeka untuk berfikir dan berpendapat.
Saya ingat ketika PT. Borneo Tribune Press mendirikan percertakannya. PLN ternyata tak mampu menyediakan daya yang dibutuhkan perusahaan.
Bah! Bagaimana Kalbar berharap investor luar mau menanamkan modalnya? Memenuhi kebutuhan listrik investor local yang cuma 60 KVA saja tak becus! Saya muak! Sungguh tak habis pikir, bagaimana para penguasa telah mengurus negeri bernama republik ini? (catatan ini ditulis saat persiapan penerbitan borneo Tribune)
Dengan hati miris saya membuka program MP3 dengan volume sayup. Bersandar di kursi merah plastic, di depan computer tua, di ruang tengah yang menyatu dengan ruang tamu. Mencoba mengumpulkan kepingan-kepingan perasaan dan akal sehat saya dengan mengklik Glan Miller dengan In the Mood-nya.Tapi taik kucing! Perasaan saya tak mudah disulap. Sudah beberapa pekan ini terasa teramat berat untuk di pikul sendiri. Sementara Dr Yusriadi adan H Nur Iskandar pasti tengah melaju dengan tulisannya masing-masing, tentang pengalaman dan fikirannya sebagai jurnalis.Sementara saya belum selembar tulisan pun diketik. Kecuali potongan-potongan kalimat dan beberapa file tak terselesaikan. Saya seperti dibetot kedunguan yang membuat orang bisa menjadi lebih goblok dari sebelumnya.
Yusriadi adalah Doctor jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) dengan predikat cemerlang dan redaktur di Borneo Tribune. Nur Iskandar pula adalah pimpinan sekaligus sahabat saya. Dia salah satu wartawan berprestasi di west Borneo yang karena idealismenya dipecat Djunaini KS dari Harian Equator. Nur Iskandar mau pun Yusriadi turut dipecat bersama saya dan dua rekan redaktur lain dari anak perusahaan Jawa Pos group itu akhir November 2006 lalu. Nur Iskandar menjabat Redaktur Pelaksana menjelang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), tapi kini dia adalah salah satu direktur di perusahaan PT Borneo Tribune Press dan Pimred harian Borneo Tribune.
Saya mulai marah pada diri sendiri, karena keadaan seperti ini membuat saya jengah dan malu. Apalagi Nur Iskandar beberapa kali menyindir saya di kantor—sebenarnya bukan kantor, tetapi sekretariat pinjaman di Parit Haji Husin II, beberapa langkah dari rumah Junaini KS— soal naskah yang nanti akan dikompilasi menjadi sebuah buku.
“Jangan nanti bilang menyesal, saat bukunya diterbitkan.”
Di lain waktu dia mengatakan saya malas. Padahal entah berapa paragraph kalimat sudah saya ketik terpisah, tapi tak satu pun rampung menjadi kisah yang utuh. Saya mulai tak tahan dan kecil hati.
Tiupan saxophone The Benoit menyenandungkan Club Havana, menggantikan Glan Miller sama sekali tak berjaya menghibur saya. Di luar ayam sudah berkokok 3 kali.
Ada 3 file terpisah yang sudah saya ketik di komputer rumah. Dua lagi di computer kantor. Tetapi tak satu pun rampung. Ide dan imajinasi saya seperti digantang asap, terkurung dalam dapur pengap. Tiap kali mulai menulis, akal sehat di tempurung kepala saya rasa tersumbat. Jemari berhenti menekan tuts keyboard, karena otak yang sedianya mengirimkan pesan, tiba-tiba mogok mendadak. Tak ubahnya mesin deasel yang kehabisan minyak.
Berkali-kali saya paksa onderdil paling cerdas dari kemanusian saya itu bekerja, tetapi tetap saja butek. Saya ketok-ketok kepala saya dengan tangan. Busyet, tak juga mau menyala! Padahal saya sangat membutuhkannya saat ini. Untuk merekonstruksi atau sekedar mengingat sesuatu yang pantas diketik. Saya sudah terlanjur malu dan tidak mau dicap journalist tukang ngecap.
Tapi ya ampun…? Sampai pukul dua dini hari, di depan computer mengerahkan segenap kemampuan hingga mata pedih, klik di otak saya tetap saja tak membuka.
***
Berbagai upaya sudah saya coba, sejak 3 pekan terakhir ini. Empat judul buku saya lahap dalam seminggu. Dua buku diantaranya 505 dan 598 halaman, tentang Kesusastraan Melayu Tionghoa dan 1421 Saat Cina menemukan Dunia karya Gavin Menzies yang menjadi Bestseller internasional. Saya hajar otak saja dengan membaca, terkadang hingga pukul 4 pagi! Masih juga belum siuman.
Minggu lalu saya pergi memancing bersama teman-teman untuk sekedar mencari inspirasi. Sesekali ngoborol di pos ronda depan komplek, bergadang sambil minum kopi dengan teman-teman atau nonton film kartun dengan Hedwigis Novellindu Hening, putri sulung saya. Tapi taik kucing! Tetap saja otak saya goblok!
Kemana kemampuan saya yang bisa menulis dua cerpen dalam semalam di tahun 1994-1997 lalu? Mana kecerdasan saya yang telah menulis sebuah tulisan panjang 10 ribu kata dalam 2 malam bulan lepas? Mana minda yang pernah saya asah selama 3 tahun 4 bulan di universitas, dua minggu di pantau dan sejumlah kursus journalistik, yang saya jejal dengan majalah, buku-buku sejarah, komik silat, filsafat, novel, sastra dan sebagainya? Mana Wisnu Pamungkas (nama samaran saya) yang bisa mengarang 4 puisi dalam sehari? Mana? Oiii….Poekemae…!?
“Blaab!!” Listrik tiba-tiba padam. Saxophone Glenn Miller baru 1 menit 45 detik mengalunkan Tuxedo Junction pun soak dan senyap. Seluruh ruangan rumah gelap. Komputer saya turut semaput karena tak dilengkapi UPS. Hati saya kecut dan marah. Sangat Marah! Beberapa detik kemudian listrik menyala semula, tapi lebih dari separuh ketikan yang saya susun dengan susah payah lenyap!
Poekemae!” maki saya dalam hati. Karena sudah larut saya ogah membuka program MP3 lagi. Saya terlanjur geram tapi tak tahu harus bicara pada siapa. Orang disekitar sudah lama terlelap. Listrik padam pun mereka tak sadar. Tapi saya perlu membagi perasaan sebelum emosi saya cidera. Saya lantas mengirim Short Massage Service (SMS) kepada Nur Iskandar.
“Malam ini sya benar2 marah. Sya sudah berjuang membangunkan dri sendiri untuk menulis bku kita. Apalagi ditampar dg kta malas. Sya sdh mengetik 3 hlmn, dr 5 tlisan yg tak slesai. Listrik tiba2 pdm. Rasanya prcuma punya Negara, tpi ngurus listrik saja tak bisa! Aku mulai phobia terhadap negara. Maaf.”
Tak puas dengan SMS pertama, aku lantas mengirimkan curhat kedua, masih via SMS:
“Memiliki negara ternyata tk menyelesaikan apa2. Bahkan masalah rakyatnya yang paling esensial.”
Saya menunggu, tapi tak ada balasan. Mungkin sudah lena. Tadi siang dia sakit kulit. Wajah hingga ujung kaki dihiasi bintik-bintik merah seperti biduran. Mungkin alergi.
Sudah bertahun-tahun listrik byar-pet dan menjadi biasa negeri ini. Malam ini ‘kebiasaan’ itu menaikkan tensi emosi saya yang sedang bergulat dengan diri sendiri. Belum lagi pemadaman bergilir atau mendadak sepanjang tahun yang tak perlu saya ceritakan di sini. Alasannya mesin sudah tua dan perlu perawatan. Adakah negeri ini dibangun tanpa perencanaan? Benar-benar menjengkelkan dan bila diakumulasikan, kisah-kisah begini bisa membuat beberapa orang seperti saya jera memiliki negara. Lebih baik sepotong kampug misalnya, atau apa saja, tanpa jor-joran politik yang membingungkan rakyat, tetapi hidup warga terurus dengan baik. Rakyat aman, tidak miskin dan merdeka untuk berfikir dan berpendapat.
Saya ingat ketika PT. Borneo Tribune Press mendirikan percertakannya. PLN ternyata tak mampu menyediakan daya yang dibutuhkan perusahaan.
Bah! Bagaimana Kalbar berharap investor luar mau menanamkan modalnya? Memenuhi kebutuhan listrik investor local yang cuma 60 KVA saja tak becus! Saya muak! Sungguh tak habis pikir, bagaimana para penguasa telah mengurus negeri bernama republik ini? (catatan ini ditulis saat persiapan penerbitan borneo Tribune)