Apakah Resilient dan Bagaimana Membangunnya?


Oleh: Alwahono

Awalnya orang sempat mengira bahwa istilah resilience dikenal pertama kali pada tahun 1950-an lewat pemikiran Block dengan nama Ego – resiliency (ER) yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapi pada tekanan internal maupun external. Waktu itu konsep tersebut diterapkan pada anak-anak dimana ia dikenal sebagai “invulnerability” atau “stress resistance

Tapi belakangan diketahui bahwa kata resilient sudah digunakan oleh filsuf Romawi, Marcus Tullius Cicero dan Marcus Fabius Quintilianus. Jika Marcus Tullius Cicero memperkenalkan kata resilion, resilire atau to rebound (baca: bangkit kembali) Sementara Marcus Fabius Quintilianus tercatat menggunakan kata resilio, resilire atau to avoid yang berarti menghindar. Resilience masih sebatas penggunaan kata belum menjadi kalimat utuh. Perkembangan waktu kemudian, kata resilience menjadi kalimat diperkenalkan oleh Thomas Wolsey pada 1 September 1529. Dia menulis kalimat dengan memasukan kata resiliensi di bukunya.

Belakangan kita kerap mendengar penggunaan istilah resilience atau resilient di media dan seminar-seminar ketika membahas orang-orang yang tangguh menghadapi situasi tertentu, hingga bisa mencapai sukses. Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang resilient, maka kami akan menyampaikan beberapa cerita yang semoga dengan mudah membantu kita semua untuk memahami makna dari ketangguhan dan ketahanan.

Sejak jaman dahulu, manusia hidup dalam ketidakpastian. Kondisi dan tekanan dari waktu ke waktu selalu saja ada dan semakin meningkat. Tekanan tersebut bisa membuat orang menjadi lebih hebat  atau sebaliknya juga dapat membuat kita terpuruk pada jurang yang dalam. Bahkan beberapa diantara kita ada yang menjadi penyendiri, hidup dalam keraguan, tidak percaya dengan orang lain dan mungkin juga ada yang berkeinginan bunuh diri. Karena hidup yang dijalankan seolah-olah tidak ada lagi keindahan yang ada hanya derita dan air mata, hilang semua tujuan dan harapan.

Sejak manusia ada dimuka bumi ini sifat dasar manusia selalu mencari cara untuk bertahan atau keluar dari ancaman atau tekanan. Sebagai contoh saat pergi ke hutan dan bertemu binatang buas seperti harimau. Maka saat harimau berada di depan, mengaum dengan suara yang menggelegar dan menampakan taringnya yang tajam, apa yang akan kita lakukan?  Pilihannya hanya ada dua, yaitu melawan  harimau itu atau berlari.

Melawan atau berlari itu adalah cara kita menghadapi tekanan.  Melawan atau berlari adalah cara agar kita selamat dari dicabik-cabik harimau. Dalam kehidupan sehari-hari kita kerap menemukan tekanan dan masalah dari ‘harimau-harimau’ yang menghadang di perjalanan. Baik di rumah, di kantor, atau di lingkungan masyarakat. Tekanan tersebut membuat kita stressdan kita harus mengambil tindakan segera untuk dapat menghadapi kondisi tersebut.

Coba kita renungkan sesaat pernahkah kita ditinggalkan oleh orang-orang yang kita sayangi?  Sebagian besar dari kita mungkin pernah, bisa saja orang tua kita, saudara-saudara kita, pasangan hidup kita, anak-anak kita, pacar (jadi jomblo lagi), atau siapapun mereka orang yang menjadi bagian dari hidup kita. Apa yang kita rasakan kita akan merasa kehilangan dan bahkan ada yang mereka putus harapan dalam hidupnya.

Bagi para pebisnis misalnya saat terjadi tekanan bisnis dan kesalahan dalam pengambilan keputusan sehingga perusahaannya bangkrut dan meninggalkan hutang yang sangat besar, apalagi dalam kondisi resesi ekonomi atau akibat perubahan zaman. Kita sering mendengar dari media sosial atau televisi jika pengusaha akhirnya bunuh diri, namun sangat banyak juga cerita dengan kebangkrutan mereka justru tumbuh menjadi pengusaha besar yang sukses.

Kondisi pandemic covid 19 saat tulisan ini dibuat misalnya, banyak perusahaan yang merugi, memberhentikan karyawan dan bahkan menutup usahanya. Jika kita pengusaha bayangkan saja tekanan apa yang kita rasakan dan keputusan apa yang kita lakukan, jika kita adalah pekerja yang terkena dampak PHK, sudah tidak ada penghasilan dan ditambah lagi dibatasi sosial, tentu ini semua menjadi tekanan yang sangat berat yang kita harus hadapi.

Demikian juga bagi yang masih bekerja di dalam perusahaan, setiap hari selama 8 jam dan bahkan lebih karena bisa saja lembur kerja, apalagi yang berlaku pola kerja 996 (kerja masuk jam 9 pagi dan pulang jam 9 malam, kerja selama 6 hari dalam seminggu) ini tidak ada di Indonesia. Belum ditambah dengan beban kerja yang sangat berat dan gaji yang selalu kurang setiap bulannya. Apa yang terjadi pastinya kita akan stress. Bagaimana jika di tempat kerja kita berhadapan dengan pekerjaan berisiko tinggi setiap saat misalnya sebagai operator, driver, mekanik dan lainnya, apabila kita lengah dan mengabaikan keselamatan, sudah tentu nyawa kita dapat melayang atau kita dapat cacat seumur hidup kita ataupun timbulnya penyakit akibat kerja pada diri kita. Saat kecelakaan terjadi kita menjadi korban dan perusahaan juga sangat dirugikan. Akibatnya menjadi dilematis jika kita selamat mungkin akan diberhentikan kerja.

Ada banyak sekali kondisi yang membuat kita hidup menjadi sangat tertekan. Saat kondisi dalam tekanan maka reaksi manusia secara umum adalah merespon secara negatif. Karena respon dan pikiran negatif itu selalu menempel di otak seperti perangko. Sebagian lagi meresponnya dengan cara positif, merespon positif lebih sulit dilakukan atau kata orang itu selalu terpental seperti telepon yang sudah kita pakai.

Dalam menghadapi semua tekanan tersebut kita tidak cukup hanya mampu menghadapinya, karena permasalah akan timbul secara terus-menerus dan bahkan dapat menjadi semakin berat dari hari kehari. Kemampuan (ability) kita menjadi penting sehingga kita dapat menghadapi semua kondisi, namun ketahanan (resilience) atau ketangguhan (resilient) menjadi hal yang utama.

Resilient (ketangguhan) adalah kemampuan untuk bangkit kembali setelah situasi penuh tekanan. Ini tantangan kemampuan menangani masalah secara efektif, dan menggunakan alat dan teknik berbeda untuk mengatasinya.

Dalam kamus istilah resilient diterjemahkan sebagai elastis atau ketangguhan, yaitu sebagai suatu kemampuan seseorang ataupun sekelompok orang untuk beradaptasi dalam semua kondisi yang terjadi. Sehingga mereka dapat mengatasi kondisi tersebut baik kondisi yang normal, kondisi yang tidak normal dan kondisi yang bersifat emergensi. Dengan resilient maka mereka akan dapat mengontrol semua situasi dan dapat berhasil mengatasinya.

Situasi yang menantang atau frustasi dapat menyebabkan tekanan dan tubuh kita beraksi. Ketika kita terlalu banyak tekanan, otak kita mengubah sinyal tekanan yang diterima menjadi alarm yang mengaktifkan respon pertarungan kita. Lawan dan lari adalah cara tubuh kita untuk mengeluarkan kita dari situasi berbahaya dan merugikan kita.

Tubuh kita memproduksi hormon yang mempersiapkan tubuh kita bertindak cepat, ini mengambil energi dari bagian otak kita. Mengembangkan ketahanan memberikan kita keterampilan untuk lebih mengontrol respon lawan atau lari.

Pentingnya mengembangkan ketangguhan (resilient) telah dikenal selama ratusan tahun silam dan dipraktekan secara luas di kalangan atlet professional. Mereka menghabiskan berjam-jam, berhari-berhari dan bahkan bertahun-tahun untuk melatih kebugaran mereka, dan juga menghabiskan waktu melatih permainan mental mereka. Atlet dan tim olahraga membangun keterampilan ketangguhan (resilient) mereka untuk memastikan mereka dapat berpikir dengan cepat dan tetap berfokus melawan lawan mereka yang paling menantang.

Mereka dengan ulet mengatasi tekanan dan frustasi karena kelelahan dengan cepat. Tentu saja bagi para atlet hal terburuk bisa terjadi adalah mereka bisa kalah dalam permainan.

Taruhan yang lebih tinggi bagi kita ketika ada yang salah di tempat kerja, kita bisa kehilangan nyawa, sehingga menjadi sangat penting bagi kita membangunan ketangguhan (resilient) dan kemampuan kita untuk tetap fokus, bahkan dalam situasi yang sangat menegangkan, ini bener bagi kita baik sebagai individu dan sebagai tim

Orang yang resilient selalu pantang menyerah “never give up”. Bertindak kemudian jika gagal, maka kita belajar, kemudian bertindak yang lebih baik dan sebaliknya jika berhasil mereka juga belajar, kemudian bertindak agar lebih sukses lagi. Bertindak/berusaha—belajar—bertindak/berusaha dengan pebih baik dan cerdas terus mereka lakukan sehingga menjadi tangguh. Mereka selalu memiliki strategi dan cerdas belajar pada kegagalan, merespon semua kejadian, memonitor kondisi yang emergensi dan mengantisipasi semua kondisi yang mungkin akan terjadi.

Ketangguhan sebagai individu dan tim dapat diperoleh melalui Latihan yang secara konsisten dan terus menerus dengan berbagai scenario. Nah bagaimana cara kita membangun dan mengimplementasikan resilient dalam kehidupan kita termasuk diantaranya dalam keselamatan, rahasia ketangguhan (resilient secret) dalam kehidupan, kepemimpinan yang resilient, budaya yang resilient, akan kita sampaikan dalam tulisan-tulisan berikutnya.

Terima kasih sudah membaca, silahkan berikan masukan dan saran, atas tulisan ini. Semoga bermanfaat untuk kita semua.

Salam

 

LihatTutupKomentar
Cancel