'Jesus' from Davao

Oleh: A. Alexander Mering

“Cut! Cut!”
Crew film kucar-kacir. Ember terpelanting, begitu juga sikat toilet di dalamnya. Penonton tertawa terbahak-bahak.
Wanita berkerudung hitam di samping panggung tak kuat menahan geli. Dia sembunyikan tawa sambil mengipas sang sutradara.
“Bukan begitu! Emosion, saya mau emosion!”
Crew bersiap-siap lagi.
Adegan di ulang. Tapi kali ini dengan ‘emosi’. Para pemeran masuk panggung tergesa-gesa.
Balut, ciat, ciat! Pinoi, ciat…ciat…ciat!” Persis pemain silat jualan obat. Carlito H Layos Jr yang memerankan pedagang jajanan khas Philipina. Dia menenteng ember berisi sikat toilet, pura-pura menjual balut dan Pinoi. Kedua benda itu adalah telur bebek yang sudah menjadi emberio dan direbus matang. Orang Philipina memakainya sebagai viagra, seperti orang Pontianak memakai telur setengah matang untuk menambah keperkasaan pria.
Adegan berikutnya adalah dua pembeli masuk panggung. Dari samping kanan, seorang perampok melompat masuk. Dia menghunus belati, menusuk perut pembeli balut. Korban terkapar. Dua polisi masuk panggung dengan gaya Bruce Lee. “Ciat! Ciat!” Bukannya menolong, eh malah ikut membacok sang korban. Sutradara emosi.
Cut! Cut! Bukan Begitu, bodoh!”
Crew kucar-kacir lagi. Ember terpelanting lagi, isinya berhamburan seperti tadi.
Lagi-lagi penonton geger. Ada yang matanya sampai berair, menahan tawa.
Brother John De Agnel, CSsR, memang pandai mengocok perut kami. Dia memerankan sutradara waria. Sementara anggota kelompoknya menjadi aktor dan aktris yang ngawur, berulang-kali salah interpretasi naskah drama.
John orang India, tapi dia warga Malaysia. Dia salah seorang dari 11 calon pastor yang bergabung dalam intensive program bersama kami di Silsilah. John tengah menyelesaikan pendidikan seminari di Davao City.
Malam itu lagaknya seperti sutradara film India, tapi banci habis. T-shirt bergantung di atas pusar, kacamata hitam di jidat melorot berkali-kali. Hari-hari biasa tapang John bisa membuat bocah umur 3 tahun lari ketakutan. Jambangnya tebal, hitam seperti sarang lebah yang baru saja disulut api. Walau demikian dia sangat menyenangkan dan baik hati.
Pada jam makan misalnya, tak segan-segan dia mengambilkan buah-buahan atau air minum teman semeja. Suatu malam dia menghadiahkan pesta ulang tahun pada Fattra J Hussin, gadis paling kalem di kelas kami. Tersentuh cerita Fattra dia ngelayap ke kota sore-sore mencari kue ulang tahun untuknya.
“Kemarin, dia bercerita walau sudah 21 tahun, tapi belum pernah merayakan ulang tahun”. Fatra menangis menerima pemberian John.
Bagiku John bukan saja baik, tapi juga unik. Itu lo, kebiasannya menenteng-nenteng botol cabai (disambiguasi) ke mana-mana seperti nenteng handpone. Tak peduli di kampus, di pasar, di warung, atau ke hutan sekali pun, botol saus cabai selalu ada di sakunya. Menurut Bro Nathanel, teman sekampusnya, John ibaratkan ulat dengan cabainya. Tak bisa dipisahkan. Karena itu aku menggelarnya Chiliman. Jika makan tak ada cabai, sepanjang hari hidupnya tak tentram. Tapi belakangan ia mendapat gelar baru di Zamboanga: ‘Jesus’ from Davao.
Suatu siang di ruang makan, Jhon mengusap-ngusap janggutnya. Selain John, Mohammad dan Prof. Alih S Aiyub juga berjanggut, tetapi John menang karena janggutnya paling lebat di ruangan itu. Tak dinyana, kami kedatangan tamu dari Dubai menjelang makan siang. Aku lupa nama sang tamu, tapi dia masih muda dan gagah dengan rumbai janggut kribo yang menjuntai hingga hampir sebatas pinggang.
Jhon sontak berhenti mengelus janggutnya sendiri. Saya kebetulan menoleh ke arahnya. Dia membuat gerakan lucu, seolah-olah mengkerut, dengan senyum tertahan. Kedua tangannya pura-pura menyembunyikan janggut.
“Tadi anda memang pemenang, sekarang tidak lagi karena ada yang janggutnya lebih panjang,” kata saya menggoda. Ruangan makan pun jadi riuh oleh gelak tawa teman-teman.
Selama kursus, Mohammad, temanku dari Center for Research and Inter-Religious Dialogue (CRID) menepel pada John. Karena selain aku, hanya John yang betah menjadi translator Mohammad selama kami di Zamboanga. Jika tidak berbahasa Inggeris, orang-orang bicara bahasa Cabacano atau Tagalong atau campuran ketiga-tiganya. Tentu saja Mohammad bengong.
“Disini anda bisa berdialog dengan hati,” kata Father Sebastiano De’Ambra, PIME, menghibur Mohammad suatu hari. De’Ambra adalah pendiri Silsilah.
Jika aku tiada, John atomatis menjadi teman ngoborol Mohammad walau kadang tak nyambung sepenuhnya. Maklumlah, walau serumpun tapi bahasa Malaysia dan Indonesia juga banyak perbedaan. Terkadang aku tertawa geli saat keduanya bercakap-cakap.
“Bila awak nak mulakan, activity?”
“Itu tidak masalah, dialog Kristen-Islam sudah selesai sejak abad ke 17”.
“Hmm……, maksud awak?”
Aku terpaksa turut campur karena dialognya jauh pangang jauh dari api. Untungnya aku juga bisa berbahasa Malaysia.
Suatu malam usai kelas bubar, kami ngumpul-ngumpul di kantin, menggelar farewell party. Ada yang bikin minuman buah-buahan—gin tonic. John buru-buru menghampiri Mohammad.
“Ustadz, jangan minum, itu mengandung alkohol”.
Mohammad mengucap Alhamdulillah. Aku terkesan. Karena itu lebih dari 20 kali aku menjempretnya selama sepekan pertemanan kami. Beberapa close up. Photo itu cepat beredar dari tangan ke tangan. Bukan karena John tampan, tetapi karena photo itu rada-rada mirip aktor yang memerankan tokoh Jesus dalam film The Passion of The Christ yang dibuat oleh Mel Gibson tahun 2004 lalu.
“Is he Jesus from Nazaret?”
Seorang peserta kursus mengira aku me-reproduce gambar Jesus dari Kalender.
No, He is Brother John, Jesus from Davao…,” selorohku.
***
Suatu hari kami diberi tugas membuat presentasi. Kali ini giliran Brother Mouyeke Misere Tiburce Barbeault, CSCh. Lidah melayu pasti keriting menyebut nama lengkap calon pastor yang satu ini. Supaya gampang, kami memanggilnya Bro Tib saja. Aku berbisik kepada John.
Bro, bagaimana supaya Bro Tib berhenti becakap?”
“You cuba tepuk tangan saja, mesti dia stop”.
Aku bertepuk tangan. Mula-mula cuma seorang saja yang ikut. Selanjutnya dua, lalu tiga, empat dan akhirnya 46 peserta kursus di ruangan itu hampir semuanya bertepuk tangan. Lelaki hitam gempal, tinggi besar yang tadi meledak-ledak di mimbar itu mendadak berhenti seperti video player yang ditekan tombol pause. Dia nyengir kuda, mungkin jengkel tapi buru-buru menutup presentasinya.
“Thank you, thank you….”.
Ruangan geger lagi. Mereka seakan setuju Tib mempercepat presentasinya. Tib dari Kongo, Afrika. Seperti John dia juga seminarian tengah mondok di Davao City.
Di luar cuaca agak mendung. Sedangkan udara panas luar biasa. Tapi bunga-bunga yang ditanam Mother Earth tetap mekar mewangi. Aku mengintip ke luar jendela. Hari ini aku benar-benar senang sekali menjadi bagian dari keberagaman.
Kami memang bak bunga-bunga. Warnanya bermacam-macam. Baik latar belakang, agama, warna kulit hingga asal negara. Ada calon pastor seperti John, ada pendeta, pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dosen, Suster, peneliti, jurnalis, mahasiswa, bencong hingga ibu rumah tangga. Seluruhnya berasal dari 9 negara. Selain dua negara yang disebutkan tadi, ada peserta dari Vietnam, Thailand, Guatemala, Tanzania, Singapura dan Indonesia. Philipina tuan rumahnya sekaligus penyelenggara kelas internasional ini. (Publish in Borneo Tribune, 2 Juni 2009)

WAJAHPhoto Close Up ini sempat dikira gambar Jesus di almanak yang aku repro ulang dengan kamera. Gara-gara photo ini, John mendapat julukan khusus di kelas Intensive Program, Silsilah awal pekan lalu. FOTO A. Alexander Mering/Borneo Tribune
LihatTutupKomentar
Cancel