Susahkah Mengurus Sempadan?
by A. Alexander Mering
Susahkah mengurus Sempadan? Demikian pertanyaan lugu seorang warga Sungai Daun, perbatasan antara Sarawak, M’Sia dengan Kabupaten Sanggau dalam sebuah kunjungan.
Dia bertanya karena sudah lebih dari 63 tahun Negara kita merdeka, tetapi masalah perbatasan di sejumlah daerah tak kunjung beres. Mengapa tak beres-beres? Bahkan orang kampung yang lugu pun heran dan bertanya-tanya.
Dengan jumpah pulau Indonesia yang betepek-tepek, sekitar 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang 81.900 km2.1—Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut—implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km. Karena sangat luas maka sangat diperlukan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu di tingkat pusat maupun daerah.
Terbalik dengan negara-negara sukses yang menganggap perbatasannya sebagai sesuatu yang strategis dan potensial, Indonesia malah menganggap perbatasannya sebagai sebuah masalah. Jadi pantaslah jika perbatasan antara Sarawak, M’sia dan Kalbar tetap semeraut dan tak terurus. Tentu saja lengkap dengan semua cerita centang pernang dan label buruk. Kisah serta berbagai catatan, kriminal, penyeludupan, isu keamanan dan pertahanan nasional, kemiskinan, dan seongok-ongok patologi sosial dan hukum yang menyeramkan mengalir dari sana lewat media maupun gossip warung kopi.
Kalau begitu, benarkah susah mengurus sempadan? Jawabannya tidak jika pemerintah serius menjadikan perbatasan sebagai etalase dan pintu gerbang internasional. Jika ia dikelola dengan baik dan professional. Jika infrastrukturnya minim, ya di tambah. Kan rakyat bayar pajak?! Asal duitnya tidak lagi dimasukan ke kantong pejabat. Kondisi yang sekarang, menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Selama ini, tanggung jawab pengelolaan wilayah perbatasan hanya bersifat koordinatif antar lembaga pemerintah departemen dan non departemen, tanpa ada sebuah lembaga pemerintah yang langsung bertanggung jawab melakukan manajemen perbatasan dari tingkat pusat hingga daerah.
Yang terjadi di Negara kita, harta yang ada (termasuk perbatasan) tak diurus dengan baik. Nah, setelah dicaplok orang lain, baru bekalot-ribot. Menyalahkan orang lain, ngajak berekelahi! Beginikah adab dan marwah sebuah bangsa yang besar di mata dunia internasional?
Dengan demikian pertanyaan di atas harus dipertegas lagi. Seriuskah pemerintah mengurus sempdan? (publish in Borneo Tribune, 12 Pebruari 2009)
Susahkah mengurus Sempadan? Demikian pertanyaan lugu seorang warga Sungai Daun, perbatasan antara Sarawak, M’Sia dengan Kabupaten Sanggau dalam sebuah kunjungan.
Dia bertanya karena sudah lebih dari 63 tahun Negara kita merdeka, tetapi masalah perbatasan di sejumlah daerah tak kunjung beres. Mengapa tak beres-beres? Bahkan orang kampung yang lugu pun heran dan bertanya-tanya.
Dengan jumpah pulau Indonesia yang betepek-tepek, sekitar 17.499 pulau dan luas wilayah perairan mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantai yang 81.900 km2.1—Dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut—implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, danTimor Leste dengan panjang garis perbatasan darat secara keseluruhan adalah 2914,1 km. Karena sangat luas maka sangat diperlukan dukungan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu di tingkat pusat maupun daerah.
Terbalik dengan negara-negara sukses yang menganggap perbatasannya sebagai sesuatu yang strategis dan potensial, Indonesia malah menganggap perbatasannya sebagai sebuah masalah. Jadi pantaslah jika perbatasan antara Sarawak, M’sia dan Kalbar tetap semeraut dan tak terurus. Tentu saja lengkap dengan semua cerita centang pernang dan label buruk. Kisah serta berbagai catatan, kriminal, penyeludupan, isu keamanan dan pertahanan nasional, kemiskinan, dan seongok-ongok patologi sosial dan hukum yang menyeramkan mengalir dari sana lewat media maupun gossip warung kopi.
Kalau begitu, benarkah susah mengurus sempadan? Jawabannya tidak jika pemerintah serius menjadikan perbatasan sebagai etalase dan pintu gerbang internasional. Jika ia dikelola dengan baik dan professional. Jika infrastrukturnya minim, ya di tambah. Kan rakyat bayar pajak?! Asal duitnya tidak lagi dimasukan ke kantong pejabat. Kondisi yang sekarang, menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki sebuah sistem manajemen perbatasan yang baik. Selama ini, tanggung jawab pengelolaan wilayah perbatasan hanya bersifat koordinatif antar lembaga pemerintah departemen dan non departemen, tanpa ada sebuah lembaga pemerintah yang langsung bertanggung jawab melakukan manajemen perbatasan dari tingkat pusat hingga daerah.
Yang terjadi di Negara kita, harta yang ada (termasuk perbatasan) tak diurus dengan baik. Nah, setelah dicaplok orang lain, baru bekalot-ribot. Menyalahkan orang lain, ngajak berekelahi! Beginikah adab dan marwah sebuah bangsa yang besar di mata dunia internasional?
Dengan demikian pertanyaan di atas harus dipertegas lagi. Seriuskah pemerintah mengurus sempdan? (publish in Borneo Tribune, 12 Pebruari 2009)
2 Komentar
-
Yauma Yulida H. February 16, 2009 at 5:01 PM Indonesia memang selalu memandang aset sebagai masalah bang. Ini baru perbatasan. Belum PKL, sampah, dan lain-lainnya. Sementara negara lain bahkan afrika sudah mampu mengolah hal-hal yang sebenarnya berguna, Indonesia masih seperti "Monyet diberi emas". -
celestial May 3, 2010 at 2:40 PM membaca artikel ini ak teringat akan seseorang dan kejadian yang menimpa orang yang aku kenal ini.tentang orang bodoh yang mengaku pintar (dan berlagak seolah-olah pintar)dan pada hal tertentu pintar tapi berlagak bodoh (just to save his a**).orang ini tidak akan memperdulikan teritotial dan tanggungjawabnya selama tidak ada keuntungan pribadi yang didapat, dan akan bertindak "memaksa" siapa saja yang menghalanginya mendapatkan profit.jadi buat saya sih (kembali ke artikel)ini hanya "orang" bodoh yang nantinya akan bertindak ngawur dan akan disangka orang ngawur karena bertindak bodoh....sebenarnya "orang" ini tidak perduli,tidak tau atau tidak mau tau karena tidak perduli....(apapun yang dilaksanakan dengan niat dan sadar tanggungjawab pasti bisa... setujuuuuuuuuuuu?!)