Buaya Pontianak, Mejeng di Sarawak
Buaya di Crocodile Farm Jong melakukan atraksi saat makan siang. Lompatannya memberi sebuah sensasi bagi para turis haus ketegangan. FOTO A. Alexander Mering |
Catatan Lawatan Pariwisata ke Sarawak (1)
Oleh: A. Alexander Mering
Jika buaya di Sungai Mempawah atau Sungai Kapuas yang membelah Kalimantan Barat hampir punah karena diburu dan sebagian ‘dipecundangi’ pawang, tidak demikian halnya dengan keluarga reptilia itu di Crododile Farm Jong, Sarawak Malaysia.
Buaya-buaya itu justru dipelihara dan dilatih menari guna mengorek kocek para turis yang datang ke sana. Termasuk saya yang diundang oleh Tourism Board Sarawak Malaysia akhir bulan lepas.
“Tau ndak pak, buaya itam, paling depan tu buaye kite dari Pontianak!” Kata saya agak jengkel kepada keluaga Tionghoa yang terkagum-kagum memandang buaya sebesar perahu itu berbaring diam.
Pemilik penangkaran memang memasang sebuah papan asal usul buaya tersebut di dalam pagar. Ia diletakan paling depan, di lorong masuk pertama penangkaran yang menampung lebih dari 1000 buaya.
Lalu aku minta Guide kami, Matthew bercerita. Dia adalah orang Iban yang ramah, mengoceh dengan senang hati dalam bahasa Inggris campur Melayu yang lucu di telinga.
“Lebih dari 30 tahun silam, Kian Yong Sen, penyayang binatang dan konservasionis bertemu seorang Indonesia yang menjual buaya muara muda (crocodlylus porosus). Tanpa banyak cingcong, Yong langsung memborong 6 ekor reptil itu untuk koleksinya. Dia sendiri sudah banyak piaraan, mulai dari kambing hingga ayam dan hewan lainnya.”
Rupanya setelah memperoleh 6 bayi buaya pertama tahun 1963, Yong makin tertarik pada reptil. Dia pun memutuskan membudidayakan mereka. Keputusannya dibuat lebih mudah karena Marvin dan Johnson, anaknya juga penggemar satwa liar seperti dirinya. Sejak saat itu hobi Yong sekeluarga kepada reptile ini dikenal di seantero Sarawak.
Pada tahun 1964 Yong membeli 19 bayi buaya lain. Dengan demikian koleksi Yong menjadi 25. Semua reptil disimpan dalam kolam sekitar 1 hektar, milik keluarga di Jalan Chawan di Kuching.
Tahun 1979, keluarga Yong memperoleh tanah dua hektar setengah di Siburan, sekitar 18 km dari Kuching. Tapi masih dirasa terlalu kecil untuk pembibitan. Selama periode ini, ratusan telur diletakkan tapi sayangnya tidak satupun yang menetas.
Rupanya setelah memperoleh 6 bayi buaya pertama tahun 1963, Yong makin tertarik pada reptil. Dia pun memutuskan membudidayakan mereka. Keputusannya dibuat lebih mudah karena Marvin dan Johnson, anaknya juga penggemar satwa liar seperti dirinya. Sejak saat itu hobi Yong sekeluarga kepada reptile ini dikenal di seantero Sarawak.
Pada tahun 1964 Yong membeli 19 bayi buaya lain. Dengan demikian koleksi Yong menjadi 25. Semua reptil disimpan dalam kolam sekitar 1 hektar, milik keluarga di Jalan Chawan di Kuching.
Tahun 1979, keluarga Yong memperoleh tanah dua hektar setengah di Siburan, sekitar 18 km dari Kuching. Tapi masih dirasa terlalu kecil untuk pembibitan. Selama periode ini, ratusan telur diletakkan tapi sayangnya tidak satupun yang menetas.
Yong mengunjungi desa-desa di sekitar, untuk melakukan studi lebih lanjut tentang kebiasaan peternakan buaya. Tahun 1981 Yong membuat terobosan. Pada 30 Mei 1981 bayi buaya pertama mereka lahir dari 20 telur. Sementara itu, Johnson terus menghabiskan banyak waktu dan usaha untuk penelitian tentang kebiasaan para buaya dipenangkarannya.
Setelah bertahun-tahun trial and error, Johnson akhirnya merancang inkubatornya sendiri berdasarkan data yang ia dikumpulkan. Tahun 1983 inkubatornya pertamanya berhasil dibuat walau masih kasar dari bahan kayu lapis.
Pada tahun 1998, Crocodile Farm Jong pindah ke tanah 25 hektar. Saat itu telah lebih dari 500 buaya berkembang biak dalam kolam besar mereka. Tempat itu adalah penangkaran pertama dan peternakan buaya terbesar di Malaysia. Yong berharap peternakannya dapat memainkan peran utama dalam konservasi spesies buaya.
Wajar saja kalau saat ini mereka tidak memiliki peternakan buaya tertua di Malaysia tetapi juga salah satu yang terbesar dan memiliki koleksi ribuan keturunan dinosaurus tersebut di penangkaran.
Crocodile Farm Jong dikelilingi hutan alam dimana kebanyakan hewan hidup bebas. Sebuah pemandangan yang tidak saja menggoda para turis, tetapi juga fotografer yang menyukai konsep nature .
Di bangunan utama rumah pengunjung dapat melihat fosil rahang buaya raksasa yang bernama Bujang Senang. Di Sarawak Bujang Senang bukan cuma sejarah, tetapi juga legenda yang mendirikan bulu roma. Kalau di Mempawah kita bisa mendengar kisah buaya kuning yang kerap nongol di Muara.
Setelah bertahun-tahun trial and error, Johnson akhirnya merancang inkubatornya sendiri berdasarkan data yang ia dikumpulkan. Tahun 1983 inkubatornya pertamanya berhasil dibuat walau masih kasar dari bahan kayu lapis.
Pada tahun 1998, Crocodile Farm Jong pindah ke tanah 25 hektar. Saat itu telah lebih dari 500 buaya berkembang biak dalam kolam besar mereka. Tempat itu adalah penangkaran pertama dan peternakan buaya terbesar di Malaysia. Yong berharap peternakannya dapat memainkan peran utama dalam konservasi spesies buaya.
Wajar saja kalau saat ini mereka tidak memiliki peternakan buaya tertua di Malaysia tetapi juga salah satu yang terbesar dan memiliki koleksi ribuan keturunan dinosaurus tersebut di penangkaran.
Crocodile Farm Jong dikelilingi hutan alam dimana kebanyakan hewan hidup bebas. Sebuah pemandangan yang tidak saja menggoda para turis, tetapi juga fotografer yang menyukai konsep nature .
Di bangunan utama rumah pengunjung dapat melihat fosil rahang buaya raksasa yang bernama Bujang Senang. Di Sarawak Bujang Senang bukan cuma sejarah, tetapi juga legenda yang mendirikan bulu roma. Kalau di Mempawah kita bisa mendengar kisah buaya kuning yang kerap nongol di Muara.
Konon Bujang Senang adalah jelmaan seorang jagoan Iban yang dikutuk menjadi buaya. Bujang Senang juga balik bersumpah akan membunuh semua keturunan yang membunuhnya. Buaya raksasa ini dituduh telah membunuh lebih dari 100 penduduk desa sekitar Sri Aman dan Sungai Batang Lupar. Banyak yang percaya Bujang Senang masih hidup hingga sekarang, ada pun yang dipajang dimusium hanyalah replika. Para ahli mencatat ada 21 spesies buaya yang tersebar di perairan dunia. Mereka dikelompokan ke dalam tiga keluarga yaitu, Alligatoride, Crocidildae dan Gavialidae. Nah Bujang senang rupanya adalah jenis Crocodylus porosus.
Saya berhenti agak lama di depan rahang reptile raksasa itu, karena dalam tabung kaca pengaman fosil tersebut berserakan banyak uang rupiah pecahan seribu dan 10 ribuan bersama ringgit dan mata uang lainnya. “Wahlah, ada orang Indonesia yang mencari hajat ke tempat ini rupanya..he..he…”.
Mengapa Kalbar yang memiliki sungai terpanjang di Indonesia, memiliki Danau Sentarum yang luas, mempunyai ribuan mitos tentang buaya, punya dinas pariwisata juga, tapi tak bisa membuat wisata buaya? Sebelum pulang aku menoleh sekali lagi ke kolam, di dalam sana mata buaya mengancam dingin, dengan gigi runcing tajam. Ekornya masih memukul-mukul air, menggodaku sekali lagi menghunus kamera. Klik, klik, klik!
“Jum pulang, buaya darat Pontianak,”.
“Sialan lu….,” kata ku sambil menonjok Matthew. Dia ngacir berusaha mengelak sambil ketawa ngakak. (bersambung)