Pelajaran di Meja Makan Keluarga Ortega
Oleh: A. Alexander Mering
Di rumah keluarga Raul Ortega ada sebuah meja panjang warna putih yang mendominasi hampir seluruh ruangan. Selain untuk makan, meja itu juga untuk berbincang dengan tamu, menyimpan makanan, botol minuman dan terkadang barang belanjaan. Di meja itulah aku belajar banyak hal tentang Philipina, sejak pertama kali datang. Mohammad dan aku tinggal 3 hari bersama mereka.
Pelajaran pertama adalah tentang keramah-tamahan keluarga ini. Kedua adalah bahasa orang Philipina yang campur-aduk, lebih parah dari rujak petis Madura.
“Mom, we cook kangkong, aubergine, today, but sayang Mering cannot eat manok”.
“Why he cannot eat?”
“He is vegetarian”.
Maristela bilang pada ibunya aku cuma makan ikan dan sayuran. Sebelum dia memasak, sang ibu mengingatkan agar Maristela memandikan anaknya. Mereka terus bercakap-cakap sementara aku membaca Koran Philippine daily Inquirer. Maristela adalah anak sulung Raul Ortega.
Akhirnya aku tak tahan untuk tak bertanya. Mereka memang bicara bahasa Inggris, tetapi campur-aduk dengan bahasa Amerika, Spanyol dan bahasa lokal. Beberapa kata pula mirip bahasa Indonesia dan bahasa Dayak? Misalnya kangkung, anak, laut, sayang, kanan, manok, dan lain sebagainya. Rupanya kata-kata tadi adalah bahasa Tagalog, bahasa nasional Philipina.
Hari berikutnya aku membuat kamus sendiri di meja makan ini. Putri ke empat Ortega, Lira, dengan sukarela mengajariku.
Jarak Rumah keluarga Ortega hanya sepeminum teh dari Universitas Santo Thomas (UST), Manila. Dia bekerja di sana, sebagai dosen. Setiap hari dia bolak-balik jalan kaki ke kampusnya.
UST adalah universitas tertua di Asia yang dibangun oleh Ordo Dominican. Universitas ini berdiri atas jasa Msgr. Miguel de Benavides, O.P, salah seorang uskup dari Dominica yang bertugas di Manila kala itu. Dia mewasiatkan perpustakaan dan barangannya senilai 1.500 Peso untuk membangun universitas tersebut. Aku jadi teringat saat yang hampir bersamaan, yaitu 1636, pastor Presbyterian di koloni baru Amerika di Massachusetts, Rev. John Harvard menyumbangkan buku 400 dan uang tunai sebesar 780 Pounds Sterling untuk mendirikan universitas tertua di Amerika Serikat, Universitas Harvard.
Fr. De Benavides telah membangun sekolahnya selama 90 tahun setelah Ferdinand Magellan datang ke Filipina.
Meski bekerja di Universitas terkenal, tetapi Raul Ortega hidup sederhana. Dia tinggal di rumah petak lantai dua, yang sempit bersama istri dan lima anaknya. Dia juga masih harus menampung seorang menantu dan 2 cucu. Ini kontras dengan rumah dosen-dosen di Pontianak, yang sering mentereng dan cukup untuk menampung puluhan mahasiswa.
“Saya orang yang praktis, hidup harus dijalani dengan tulus,” kata Raul Ortega suatu hari. Dia bicara dalam bahasa Inggris dialek Tagalog bercampur aksen Amerika-Spanyol. Ini unik untuk orang Asia. Jika Malaysia cuma Bahasa Inggris campur Melayu, disini campurnya tak karu-karuan. Ibarat rujak petis dicampur es, kolang-kaling, buah belimbing dan segenggam belacan.
“Bahasa lokal di Philipina juga banyak ragamnya,” kata Pablito Bey Budo. Dia dosen di UST, rekan Ortega yang dengan sukarela mengantar dan menjemput kami dengan mobilnya.
Jika Thailand adalah satu-satunya negara di Asia yang tak dijajah, nah hilipina justru mungkin yang paling banyak mendapat pengaruh penjajah. Tampangnya Asia, ngomongnya Inggris. Bedanyanya jika orang eropa suka keju, orang Philipina doyan cuka.
Jika para ahli benar, maka kemungkinan besar nenek moyang Ortega juga
orang Negrito, yaitu ras yang melakukan migrasi lebih 30.000 tahun lalu ke Philipina dari Borneo, Sumatra dan Malaya. Karena itu tak ada yang salah dengan bahasa mereka. Sebab campur-baur orang Philipina sudah terjadi berabad-abad silam, seperti juga bahasa Melayu dipengaruhi bahasa Sansekerta. Bahkan jauh sebelum buku beraksara Tagalong Kuno, Doctrina Christiana, pertama kali dicetak di pulau Leyte, Philipina, abad 16 silam. Tak salah jika Prof. James T Collins, seorang pakar bahasa Melayu dunia, berkesimpulan bahwa bahasa Nusantara, yaitu kepulauan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Timor Leste dan Philipina banyak dipengaruhi bahasa Sanksekerta sejak jaman dahulu kala.
“Jadi banyak sekali kata dalam Tagalog yang mirip bahasa Melayu, ya?” tanya Lira. Matanya yang bening mengerjab-ngerjab penuh tanya.
Aku cuma mengangguk, meyakinkannya. Sebab hampir mustahil ada yang benar-benar asli di dunia ini tanpa pengaruh apa pun dari sekelilingnya.
Pelajaranku belum selesai tentang Tagalog di meja ini bersama Lira. Sementara di luar rumah Ortega hujan mengguyur deras sekali.
Malam ini kami makan istimewa. Terong, kangkung, nanas, pisang, okra, tapah, ayam, mangga, dan tentu saja selalu ada cuka.
Kami mengitari meja yang sama, memulai doa ala Katolik Roma. Mohammad duduk tak sabar di sampingku. Mungkin dia sudah sangat lapar.
“Bismillah,” gumam Mohammad memulai.
UST
Walau sibuk, Raul Ortega (berbaju biru) menyempatkan diri mengantar aku dan Mohammad keliling kampus Universitas Santo Tomas. Bahkan dia memperkenalkan kami dengan sejumlah professor di kampus tertua di Asia itu. FOTO Mohammad/Borneo Tribune
Di rumah keluarga Raul Ortega ada sebuah meja panjang warna putih yang mendominasi hampir seluruh ruangan. Selain untuk makan, meja itu juga untuk berbincang dengan tamu, menyimpan makanan, botol minuman dan terkadang barang belanjaan. Di meja itulah aku belajar banyak hal tentang Philipina, sejak pertama kali datang. Mohammad dan aku tinggal 3 hari bersama mereka.
Pelajaran pertama adalah tentang keramah-tamahan keluarga ini. Kedua adalah bahasa orang Philipina yang campur-aduk, lebih parah dari rujak petis Madura.
“Mom, we cook kangkong, aubergine, today, but sayang Mering cannot eat manok”.
“Why he cannot eat?”
“He is vegetarian”.
Maristela bilang pada ibunya aku cuma makan ikan dan sayuran. Sebelum dia memasak, sang ibu mengingatkan agar Maristela memandikan anaknya. Mereka terus bercakap-cakap sementara aku membaca Koran Philippine daily Inquirer. Maristela adalah anak sulung Raul Ortega.
Akhirnya aku tak tahan untuk tak bertanya. Mereka memang bicara bahasa Inggris, tetapi campur-aduk dengan bahasa Amerika, Spanyol dan bahasa lokal. Beberapa kata pula mirip bahasa Indonesia dan bahasa Dayak? Misalnya kangkung, anak, laut, sayang, kanan, manok, dan lain sebagainya. Rupanya kata-kata tadi adalah bahasa Tagalog, bahasa nasional Philipina.
Hari berikutnya aku membuat kamus sendiri di meja makan ini. Putri ke empat Ortega, Lira, dengan sukarela mengajariku.
Jarak Rumah keluarga Ortega hanya sepeminum teh dari Universitas Santo Thomas (UST), Manila. Dia bekerja di sana, sebagai dosen. Setiap hari dia bolak-balik jalan kaki ke kampusnya.
UST adalah universitas tertua di Asia yang dibangun oleh Ordo Dominican. Universitas ini berdiri atas jasa Msgr. Miguel de Benavides, O.P, salah seorang uskup dari Dominica yang bertugas di Manila kala itu. Dia mewasiatkan perpustakaan dan barangannya senilai 1.500 Peso untuk membangun universitas tersebut. Aku jadi teringat saat yang hampir bersamaan, yaitu 1636, pastor Presbyterian di koloni baru Amerika di Massachusetts, Rev. John Harvard menyumbangkan buku 400 dan uang tunai sebesar 780 Pounds Sterling untuk mendirikan universitas tertua di Amerika Serikat, Universitas Harvard.
Fr. De Benavides telah membangun sekolahnya selama 90 tahun setelah Ferdinand Magellan datang ke Filipina.
Meski bekerja di Universitas terkenal, tetapi Raul Ortega hidup sederhana. Dia tinggal di rumah petak lantai dua, yang sempit bersama istri dan lima anaknya. Dia juga masih harus menampung seorang menantu dan 2 cucu. Ini kontras dengan rumah dosen-dosen di Pontianak, yang sering mentereng dan cukup untuk menampung puluhan mahasiswa.
“Saya orang yang praktis, hidup harus dijalani dengan tulus,” kata Raul Ortega suatu hari. Dia bicara dalam bahasa Inggris dialek Tagalog bercampur aksen Amerika-Spanyol. Ini unik untuk orang Asia. Jika Malaysia cuma Bahasa Inggris campur Melayu, disini campurnya tak karu-karuan. Ibarat rujak petis dicampur es, kolang-kaling, buah belimbing dan segenggam belacan.
“Bahasa lokal di Philipina juga banyak ragamnya,” kata Pablito Bey Budo. Dia dosen di UST, rekan Ortega yang dengan sukarela mengantar dan menjemput kami dengan mobilnya.
Jika Thailand adalah satu-satunya negara di Asia yang tak dijajah, nah hilipina justru mungkin yang paling banyak mendapat pengaruh penjajah. Tampangnya Asia, ngomongnya Inggris. Bedanyanya jika orang eropa suka keju, orang Philipina doyan cuka.
Jika para ahli benar, maka kemungkinan besar nenek moyang Ortega juga
orang Negrito, yaitu ras yang melakukan migrasi lebih 30.000 tahun lalu ke Philipina dari Borneo, Sumatra dan Malaya. Karena itu tak ada yang salah dengan bahasa mereka. Sebab campur-baur orang Philipina sudah terjadi berabad-abad silam, seperti juga bahasa Melayu dipengaruhi bahasa Sansekerta. Bahkan jauh sebelum buku beraksara Tagalong Kuno, Doctrina Christiana, pertama kali dicetak di pulau Leyte, Philipina, abad 16 silam. Tak salah jika Prof. James T Collins, seorang pakar bahasa Melayu dunia, berkesimpulan bahwa bahasa Nusantara, yaitu kepulauan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Timor Leste dan Philipina banyak dipengaruhi bahasa Sanksekerta sejak jaman dahulu kala.
“Jadi banyak sekali kata dalam Tagalog yang mirip bahasa Melayu, ya?” tanya Lira. Matanya yang bening mengerjab-ngerjab penuh tanya.
Aku cuma mengangguk, meyakinkannya. Sebab hampir mustahil ada yang benar-benar asli di dunia ini tanpa pengaruh apa pun dari sekelilingnya.
Pelajaranku belum selesai tentang Tagalog di meja ini bersama Lira. Sementara di luar rumah Ortega hujan mengguyur deras sekali.
Malam ini kami makan istimewa. Terong, kangkung, nanas, pisang, okra, tapah, ayam, mangga, dan tentu saja selalu ada cuka.
Kami mengitari meja yang sama, memulai doa ala Katolik Roma. Mohammad duduk tak sabar di sampingku. Mungkin dia sudah sangat lapar.
“Bismillah,” gumam Mohammad memulai.
UST
Walau sibuk, Raul Ortega (berbaju biru) menyempatkan diri mengantar aku dan Mohammad keliling kampus Universitas Santo Tomas. Bahkan dia memperkenalkan kami dengan sejumlah professor di kampus tertua di Asia itu. FOTO Mohammad/Borneo Tribune
2 Komentar
-
Dalva July 11, 2009 at 12:18 PM Lindo o prédio, deve ser bem antigo. -
John Adam Gilbert July 22, 2009 at 2:13 AM Pengalaman yang cukup bernilai dan susah hendak kita pelajari tanpa mengenali atau tinggal bersama orang yang kita ingin ketahui.