Mereka Tak Peduli Nasib Awang
By A.Alexander Mering
Isu mencekam yang beredar di luar Kota Singkawang menjelang pelaksanaan Rapat Paripurna Khusus terkait kasus perselingkuhan Drs H Awang Ishak, M.Si dan Anita Tjung sama sekali tak terbukti.
Di sudut-sudut pasar dan warung kopi yang biasanya menjadi tempat warga ngerumpi tetap beraktivitas seperti biasa. Pasar sayur tetap saja ramai seperti hari-hari sebelumnya. Pasar kelontong hingga supermarket tetap normal tak ada cerita mencekam.
A Fat, 45, tetap saja mengayuh sepeda ontelnya menjual Choi pan (chai kue) dengan wajah yang masih mengantuk. Jam baru menunjukkan pukul 06.00, dan jalan jalan M Saad masih sepi. Suara A Fat memecah pagi meneriakkan dagangannya.
“Choooooo...iii pan....eee.”
“Choiiiiii...pan...”
Seorang anak lelaki berumur sekitar 8 tahun dengan seragam sekolah berlari dari Ruko dan membeli chai kue A Fat. Pedagang kue keliling itu sama sekali tak peduli apakah Awang (Walikotanya) masih memimpin Kota Singakwang atau tidak. Ia bahkan hanya nyengir kuda ketika ditanya adakah ia tahu rencana pengerahan massa saat dilaksanakan Rapat Paripurna di DPRD Kota Singkawang di hari yang sama pukul 09.00.
Pasar Turi pun sudah ramai warga yang berbelanja sayur di pagi hari kemarin. Di depan sebuah Ruko seorang murid SD sudah bertengger di atas becak siap berangkat ke sekolah. Ia berteriak memanggil ibunya.
“Mak piong mang liou, oi hie thuk su liao... kaha theth man lok hok (mak, cepat lah..mau sekolah, nanti terlambat masuk kelas, red). Dua-tiga pengojek melintas sambil celingak-celinguk mencari penumpang. Tak ada kesan mereka tercekam gerakan massa preman di Gedung DPRD.
Pagi, beberapa pedagang mulai membuka pintu Rukonya, bahkan pedagang Choi lam (keranjang sayur, red) sudah menyusun dagangannya di sepanjang koridor Ruko. Tak ada yang berubah di Kota Singkawang hari ini (kemarin, red), tidak ada kesan kalau bakal terjadi sesuatu yang istimewa. Denyut kehidupan kota amoy tetap saja bergerak seperti roda.
Bangunan tua di tengah kota masih berdiri kokoh walau beberapa atapnya mulai ada yang luruh. Warnanya yang kusam memberi kesan pemimpinnya tak pernah peduli. Padahal penguasa kota terbesar kedua setelah Kota Pontianak ini mengkalim dirinya kota pariwisata.
Serombongan burung gereja terbang melintas Hotel Perapatan yang masih tampak sepi. Hanya seorang security tampak malas menyembulkan kepala sebatas leher dari balik tirai yang sedikit tersibak di lantai bawah.
Dua-tiga maknyah berjalan kaki menenteng keranjang belanja, baru pulang dari Pasar Beringin. Saat ditanya apakah mereka tahu tentang agenda kota yang menentukan nasib pemimpin mereka hari itu, mereka cuma menggelengkan kepala dan bergegas pergi.
Meski bulan puasa, di sebuah warung tak jauh dari terminal kota tampak seorang lelaki menyerumput kopi. Di jalan depan Masjid di tengah pasar seorang pemuda Tionghoa berkaos sport warna biru berlari-lari kecil sambil sekali-kali melompat. Ia hanya tersenyum ketika ada beberapa amoy bersepeda melintasi. “Bang memangnya ada apa di DPRD hari ini?”
“Biasalah, wakil rakyat pergi ke kantor.”
“Bukannya akan ada Demo saat Paripurna memutuskan nasib Pak Awang?”
Ia mengeryit-ngeryitkan alisnya menjawab pertanyaan saya. Senyumnya mengembang penuh arti.
“He..he..., siapa peduli,” ujarnya melengos.
Seorang polisi dengan sepeda motor dinasnya menyalip saya yang berkeliling Kota Singkawang dengan kendaraan roda empat bersama sejumlah rekan. Ia ngebut dan tampak terburu-buru. Tapi tak seorang pun yang menghiraukan.
Sekali lagi tak seperti yang dibayangkan sebelumnya, tak ada ratusan massa yang dikabarkan akan mengepung rapat paripurna dewan. Hanya sekelompok orang yang duduk-duduk di bawah pohon, di Taman Gayung Bersambut, seperti menunggu komando.
Di depan, di belakang dan koridor bangunan wakil rakyat itu cuma polisi muda berpakaian preman yang berjaga-jaga. Mobil Dalmas empat unit memang raib dari halaman Mapolres tapi juga tak terlihat nangkring di DPRD.
Ketika Awang berkuasa atau tidak berkuasa agaknya warga Kota Singkawang tetap saja larut dalam rutinitasnya. (Publishing Sabtu, 30 September 2006)
Isu mencekam yang beredar di luar Kota Singkawang menjelang pelaksanaan Rapat Paripurna Khusus terkait kasus perselingkuhan Drs H Awang Ishak, M.Si dan Anita Tjung sama sekali tak terbukti.
Di sudut-sudut pasar dan warung kopi yang biasanya menjadi tempat warga ngerumpi tetap beraktivitas seperti biasa. Pasar sayur tetap saja ramai seperti hari-hari sebelumnya. Pasar kelontong hingga supermarket tetap normal tak ada cerita mencekam.
A Fat, 45, tetap saja mengayuh sepeda ontelnya menjual Choi pan (chai kue) dengan wajah yang masih mengantuk. Jam baru menunjukkan pukul 06.00, dan jalan jalan M Saad masih sepi. Suara A Fat memecah pagi meneriakkan dagangannya.
“Choooooo...iii pan....eee.”
“Choiiiiii...pan...”
Seorang anak lelaki berumur sekitar 8 tahun dengan seragam sekolah berlari dari Ruko dan membeli chai kue A Fat. Pedagang kue keliling itu sama sekali tak peduli apakah Awang (Walikotanya) masih memimpin Kota Singakwang atau tidak. Ia bahkan hanya nyengir kuda ketika ditanya adakah ia tahu rencana pengerahan massa saat dilaksanakan Rapat Paripurna di DPRD Kota Singkawang di hari yang sama pukul 09.00.
Pasar Turi pun sudah ramai warga yang berbelanja sayur di pagi hari kemarin. Di depan sebuah Ruko seorang murid SD sudah bertengger di atas becak siap berangkat ke sekolah. Ia berteriak memanggil ibunya.
“Mak piong mang liou, oi hie thuk su liao... kaha theth man lok hok (mak, cepat lah..mau sekolah, nanti terlambat masuk kelas, red). Dua-tiga pengojek melintas sambil celingak-celinguk mencari penumpang. Tak ada kesan mereka tercekam gerakan massa preman di Gedung DPRD.
Pagi, beberapa pedagang mulai membuka pintu Rukonya, bahkan pedagang Choi lam (keranjang sayur, red) sudah menyusun dagangannya di sepanjang koridor Ruko. Tak ada yang berubah di Kota Singkawang hari ini (kemarin, red), tidak ada kesan kalau bakal terjadi sesuatu yang istimewa. Denyut kehidupan kota amoy tetap saja bergerak seperti roda.
Bangunan tua di tengah kota masih berdiri kokoh walau beberapa atapnya mulai ada yang luruh. Warnanya yang kusam memberi kesan pemimpinnya tak pernah peduli. Padahal penguasa kota terbesar kedua setelah Kota Pontianak ini mengkalim dirinya kota pariwisata.
Serombongan burung gereja terbang melintas Hotel Perapatan yang masih tampak sepi. Hanya seorang security tampak malas menyembulkan kepala sebatas leher dari balik tirai yang sedikit tersibak di lantai bawah.
Dua-tiga maknyah berjalan kaki menenteng keranjang belanja, baru pulang dari Pasar Beringin. Saat ditanya apakah mereka tahu tentang agenda kota yang menentukan nasib pemimpin mereka hari itu, mereka cuma menggelengkan kepala dan bergegas pergi.
Meski bulan puasa, di sebuah warung tak jauh dari terminal kota tampak seorang lelaki menyerumput kopi. Di jalan depan Masjid di tengah pasar seorang pemuda Tionghoa berkaos sport warna biru berlari-lari kecil sambil sekali-kali melompat. Ia hanya tersenyum ketika ada beberapa amoy bersepeda melintasi. “Bang memangnya ada apa di DPRD hari ini?”
“Biasalah, wakil rakyat pergi ke kantor.”
“Bukannya akan ada Demo saat Paripurna memutuskan nasib Pak Awang?”
Ia mengeryit-ngeryitkan alisnya menjawab pertanyaan saya. Senyumnya mengembang penuh arti.
“He..he..., siapa peduli,” ujarnya melengos.
Seorang polisi dengan sepeda motor dinasnya menyalip saya yang berkeliling Kota Singkawang dengan kendaraan roda empat bersama sejumlah rekan. Ia ngebut dan tampak terburu-buru. Tapi tak seorang pun yang menghiraukan.
Sekali lagi tak seperti yang dibayangkan sebelumnya, tak ada ratusan massa yang dikabarkan akan mengepung rapat paripurna dewan. Hanya sekelompok orang yang duduk-duduk di bawah pohon, di Taman Gayung Bersambut, seperti menunggu komando.
Di depan, di belakang dan koridor bangunan wakil rakyat itu cuma polisi muda berpakaian preman yang berjaga-jaga. Mobil Dalmas empat unit memang raib dari halaman Mapolres tapi juga tak terlihat nangkring di DPRD.
Ketika Awang berkuasa atau tidak berkuasa agaknya warga Kota Singkawang tetap saja larut dalam rutinitasnya. (Publishing Sabtu, 30 September 2006)