Negara kepada Pemuda
Kalau saat itu sudah ada komputer tablet, mungkin Moehammad Yamin juga menulis teks Soempah Pemoeda dengan Ipad. -Mering-
Oleh: A. Alexander Mering
Riko termangu di bawah pohon nangka. Ternyata ‘Kapal’ tidak melemparkan apa-apa, walaupun sekadar sepotong kue tawar saja. Padahal ia dan 6 bocah lainnya telah berteriak hingga serak meminta, sehingga bayangan pesawat terbang itu benar-benar menghilang ke balik belantara. Mereka menyebut pesawat itu Kapal Terbang. “Kapal, minta’ koeh, kapal minta’ koeh, kapal minta’ koeh!” Bocah lain, masih berteriak, membuat koor turun naik yang akhirnya juga berhenti, berganti suara kelereng yang menggelinding antara debu jalan tanah kuning Kampung Loncek. Tak ada yang peduli tanggal berapa hari itu. Tetua-tetua kampung tiada yang tahu bahwa 28 Oktober itu adalah angka keramat bagi Bangsa Indonesia. Lagi pula apa pentingnya kampung yang tak ada di peta itu bagi negara sebesar Indonesia?” Sebelum tahun 2010 komunitas adat Dayak Salako di Kampung Loncek memang masih terisolir. Paling tinggi, anak-anak sekolah sampai bangku SMP. Itupun yang orang tuanya ada kolega di Kota. Jalan satu-satunya untuk mencapai Kampung Loncek hanya sungai. Dibutuhkan satu hari satu malam perjalanan dengan motor air dari Kota Pontianak, Ibu Kota Kalimantan Barat. Bocah Riko kecewa. Gontai dia melangkah pulang membawa pertanyaan kecil di kepalanya. “Mengapa pesawat terbang tidak lagi menurunkan kue dari langit?” Padahal ayahnya pernah bercerita, dulu ada ‘Kapal’ turun di kampung mereka, membagi-bagikan kue untuk anak-anak. Riko hanya bisa bermimpi suatu hari kelak akan naik kapal terbang dan pulang membawa kue yang banyak. Lima belas tahun kemudian—karena terlibat dalam gerakan orang muda putus sekolah program PNPM Peduli—pemuda kurus dan keriting itu terpilih mengikuti pelatihan fasilitator lokal yang diselenggarakan Jogja. Inilah untuk pertama kalinya Riko naik pesawat terbang. Meski umurnya sudah 23 tahun, tapi dia tak pernah kemana-mana. Karena itu betapa gugup dia, ketika pertama kali melangkah masuk ke kabin pesawat terbang. “Begini rupanya merasa menjadi orang Indonesia?” gumamnya. (Kisah Riko ini dipetik dari Tulisan yang berjudul Loncek Baguas)
***
Bagaimana rasanya menjadi pemuda Indonesia, setelah 48 tahun Sumpah Pemuda dibacakan? Karena ada banyak Riko-Riko lain di negeri ini yang—jangankan berkesempatan datang ke Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusa—Sumpah Pemuda pun mungkin mereka tak hafal. Mereka yang sekolah tentu beruntung bisa menemukan teks keramat itu di buku sejarah. Lalu bagaimana pula mereka menghayati sumpah pemuda dalam kekinian Indonesia? Sebab pemerintah dan partai politiknya sibuk mempertontonkan cara berbangsa dan bernegara yang sangsot. Merajalelanya kekerasan atas nama agama terhadap kelompok minoritas, korupsi dimana-mana, kekerasan militer, Polri ‘berkelahi’ dengan KPK dan banyak contoh lain yang pada gilirannya membuat generasi muda di negeri ini hampir tidak ada ruang untuk tumbuh menjadi generasi yang sehat, yang memiliki semangat Muhammad Yamin Cs ketika melaksanakan kongres pemuda tahun 1928. Jadi jangan heran kalau banyak generasi muda Indonesia memilih hengkang. Mereka menjadi profesional, ilmuan dan bahkan jadi orang besar di luar negeri. Diantaranya ada yang pindah warga negara, jadi Bang Toyib karena tak dipedulikan oleh bangsanya sendiri. Lalu apa yang salah? Menurut peneliti muda Kalimantan Barat, lulusan Nasional University of Malaysia, M. Kahar Awaka, SH, LL.M, pemerintah Indonesia saat ini seakan tidak terlalu peduli pada arah mana generasi mudanya bergerak. Karena itu semangat Sumpah Pemuda 1928 pada akhirnya tak lagi dihayati dalam bingkai ke-Indonesiaan. Yang terjadi justru tumbuh suburnya berbagai organisasi—termasuk organisasi kepemudaan—dengan idiologi suku, agama dan kelompoknya sendiri-sendiri. Simon Takdir, Antropolog lulusan Universitas Ateneo, Philipina lain lagi komentarnya. Dia katakan, Indonesia sebagai bangsa yang baru saat itu telah melalaikan pesan Presiden Pertamanya, Sukarno, yaitu untuk mengedepankan nation caracter building dalam pendidikan generasi muda. Karena menurut dia sebelum proklamasi 1945, yang ada adalah Bangsa Jawa, Bangsa Sumatera, Bangsa Papua dan lain sebagainya. “Kita ini kualat kepada Sukarno,” kata dia. Dari sudut pandang Pemimpin Redaksi Pontianak Post, Drs. B. Salman, Indonesia yang sangat heterogen ini mestinya memandang keberagaman sebagai potensi. Kalimantan Barat era Gubernur Usman Djafar dan Wagub L.H Kadir dahulu pernah mempromosikan semboyan harmonis dalam etnis. “Hampir semua media menjabarkannya dalam pemberitaan,” kata Salman. Karena itu pemerintah harus segera melakukan langkah-langkah strategis. Antara lain membuat program “Anak Angkat”. Misalnya pemuda Melayu atau Dayak, “dimagangkan” ke keluarga Tionghoa, demikian sebaliknya. Program ini dilaksanakan saat liburan sekolah sehingga generasi muda bisa saling belajar tentang keberagaman. Penguatan dan penyegran organisasi kepemudanaan juga sangat diperlukan. Program pemerintahan hendaknya melibatkan pemuda seperti jaman dulu. Dalam konteks lokal, menurutnya mungkin perlu deklarasi Pemuda Kalimantan Barat yag isinya adalah sumpah untuk tidak korupsi, perang melawan kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan atau hal-hal lain yang dianggap perlu”. Semangat Sumpah Pemuda hampir tiada getarnya di Kalimantan Barat. Seremoni pun nyaris hilang. Kecuali mungkin upacara peringatan di sekolah-sekolah. “Pemuda lebih senang merayakan gangnam style ketimbang sumpah pemuda,” kata Ketua Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Pontianak, Budi Miank via Surelnya. Karena itu pemerintah tidak boleh meninggalkan kaum muda dalam membangun daerah. Dia mengusulkan adanya grand strategy peningkatan kapasitas generasi muda di Kalimantan Barat. Karena belakangan bermunculan organisasi massa mengatasnamakan pemuda ternyata tidak benar-benar meningkatkan kualitas kecerdasannya secara intelektual. Tapi malah mengedepankan otot saja. “Ini bukan zamannya main sumpah-sumpahan. Jika terus bersumpah, maka sumpah-sumpah itu akan menjadi sampah,”. Indonesia memang tidak lagi hidup di jaman penjajahan Belanda, tak perlu lagi sumpah menyumpah seperti kata Miank. Jadi jika anda masih mengacung-acungkan bambu runcing, pakaian koyak-koyak dengan ikat kepala—ala pemuda pejuang yang maju ke medan perang jaman itu—niscaya anda akan berurusan dengan Polisi Pamong Praja (Pol PP) karena dianggap orang gila. Di TV, pemuda Indonesia sekarang digambarkan kemana-mana menenteng blackberry sebagai senjata, menyandang Ipad ketika berangkat kerja. Perangnya di facebook, twitter dan berbagai jejaring sosial lainnya, sambil berteriak,”Ganyang Malaysia!” Padahal yang diganyang itu adalah saudara-saudarinya juga, banyak yang tak mengerti dan cuma senang karena keren kedengarannya. Ada yang tak peduli, dan pura-pura tuli saja, ketika orang berkelahi mereka sibuk mendulang dolar melalui internet di BB atau Ipad-nya. Indonesia memang tak cuma mempunyai Sumpah Pemuda, tapi juga memiliki Menteri Pemuda dan Olahraga. Parpol-parpol membuat organisasi pemuda pendukungnya, agama-agama juga punya organisasi kepemudan. Ormas-Ormas pemuda hingga karang taruna menjamur jumlahnya. Tapi mengapa tawuran masih menghiasi media? korupsi ada dimana-mana? Kekerasan atas nama suku dan agama jadi drama yang biasa? Bukankah negara ini akan semakin bangkrut jika ditinggalkan generasi mudanya? *) Tulisan ini juga dipublish oleh The Indonesian Journalist dengan judul Mejanya Hanya Satu