Laptop in Memoriam

By A. Alexander Mering

Sebuah Mobil kijang silver berhenti persis di belokan pertama, depan Bandara Supadio Pontianak. Mesinnya tak dipadamkan.
Berri tak bergeming di belakang setir. Berri bukan supir, dia advokat pada kantor Suwito & Associates. Sebuah kantor advokat cukup beken di Kota Pontianak. Tapi siang itu ia membantu kami menjadi driver.
Pintu samping terbuka. Aku Andreas Harsono dan Dwi Syafriyanti bergegas turun.
“Jangan bergerak dulu ya, kami akan mengangkat barang”.
”Oke”.
”Ingat ya, jangan jalankan mobil, ada laptop saya di kursi.”
Aku buru-buru mengangkat ransel Andreas Harsono dari belakang jok belakang. Sebentar lagi dia harus terbang ke Jakarta. Andreas adalah pengampu jurnalistik di Pantau Foundation dan salah satu jurnalis yang diperhitungkan di republik ini. Beberapa jurnalis menganggap Andreas keras kepala dan keterlaluan, bahkan Junaini KS, Pimred Harian Equator Pontianak pernah menyebutnya lebih Amerika dari pada Amerika. Aku pernah bekerja di koran yang dipimpin Junaini. Tetapi aku tak peduli penilaian orang. Bagiku Andreas adalah penemu bakat, dia sudah mengajar banyak wartawan—di negeri tanpa nabi yang begitu bangga menyebut dirinya Indonesia ini—bagaimana menghasilkan karya jurnalistik bermutu. Andreas sangat percaya karya jurnalistik yang bagus dapat mengubah dunia.
Andreas menenteng kardus berisi oleh-oleh, bekal sang mertua. Ada langsat punggur, chencalok kesukaan Safariah dan lain sebagainnya. Safariah adalah istri Andreas. Beban tampaknya sangat berat. Tangan lain, mengamit tas berisi Lumpia yang baru dibelinya di sebuah toko roti, Jalan Gajah Mada.
”Norman sangat suka Lumpia Pontianak,” katanya saat kami membelinya tadi.
Dia bergegas ke pintu masuk, check in. Andreas ke Pontianak untuk memberikan workshop Narrative Reporting untuk Pontianak 10-14 November di Hotel Peony Pontianak. Pantau dan Tribune Institute menggagas kegiatan ini. FLEGT-Support Project menjadi sponsornya.
Dwi bergegas menyusul Andreas. Berri masih di belakang stir sambil mengawasi kami mengangangkat barang.
”Jangan bergerak dulu ya...!”
Tapi baru beberapa langkah aku menuju peron, Berri pun menginjak pedal gas. Belum sempat sempurna, mobil batuk-batuk dan mati mendadak.
Jok mobil yang sedikit menekuk ke depan ikut terayun dan Gedebug! Laptopku yang masih terbuka kena hantam. Tadi aku belum sempat menutupnya karena tangan penuh barang, jok mobil memang belum disandarkan ke posisi semula.
Aku hampir menjerit. Berri pula hanya nenyengir kuda. Aku ke mobil setengah berlari, memeriksa laptop yang tadi masih menyala. Aku belum menyimpannya ke dalam tas, karena sepanjang jalan aku mengedit berita halaman 12 koran Borneo Tribune, sebab sudah di ambang deadline. Internet juga masih terpasang karena sedang mengirim berita editing tadi ke kantor redaksi via email. HP Sony Ericson yang kujadikan modem, kuletakkan di atas keyboard laptop.
”Alamak..., kan udah kubilang jangan bergerak!”
Suaraku tercekat di tenggorokan, tungkaiku lunglai saat lipatan laptop terbuka.
Screen retak 4 bagian. Tengah layar menyisakan bulatan hitam dengan garis-garis vertikal seperti benang berwarna.
”Bher, tadi aku sudah ingatkan jangan bergerak, sekarang lihat akibatnya...”.
”Maaf, aku tidak tahu...., maaf.”
”Oke..., tak apa, tak apa”.
Aku tiba-tiba merasa sangat lelah. Ada sedih, getir dan kecewa tertelan bersama-sama. Aku menyesal karena membiarkan saja laptop tak terjaga. Marah, karena tak mungkin marah pada Berri karena keteledorannya. Aku yang lalai. Sedih karena laptop Laptop Asus Ee PC mungil ini telah menemaniku sampai ke pelosok Kalimantan. Hutan, gunung dan ngarai sudah kami jelajah bersama dalam beberapa kali pengembaraan. Bahkan hingga ke puncak Bukit Sarung Sampuro yang dikeramatkan. Selain bukit Bawang dan yang lainnya, Sarukng Sampuro adalah bukit ketiga yang selalu dilafazkan pemantra, kala sub etnik Dayak Salako nyangahatn dalam sebuah ritual adat kepercayaan. Bukit ini terletak di Kecamatan Mempawah Hulu.
Aku juga pernah mengirim berita dengan laptop ini di tengah sawah, di Cap Kala, Kabupaten Bengkayang.
Ohya, warna telur asinnya kerap membuat beberapa rekan wanita gemas. Tak terkecuali Dorina, mahasiswi Bonn University yang sedang magang di Borneo Tribune. Bentuknya mungil, dirancang khusus bagi para traveler. Praktis dibawa, bahkan suatu hari aku pernah menyelipkannya di balik jaket saat naik motor. Biasanya kubalut dengan slayer bendera Jepang.
”Wah, itu pusaka samurai Jepang ya,” ledek seorang teman. Aku cuek saja, tapi diam-diam bangga mendekapnya karena bersejarah.
Memang tak secanggih generasi kedua. Selain tak dilengkapi web came, memorynya pun sangat miskin, Cuma 2 GB. Aku pun terpaksa membeli hardisk Eksternal 250 GB setelah menabung 5 bulan. Aku senang dan berusaha menjaganya dengan baik. Seminggu sekali aku sapu dengan cleaning foam, untuk membuang daki. Soal akses internet, asalkan ada signal Telkomsel, pasti tockcer! Agak lambat dikit, tetapi lumayanlah untuk kategori layanan telkomselflas unlimited. Cukuplah untuk sekadar buka-tutup email dan mengirim berita serta foto ke kantor redaksi dari jarak jauh.
Seorang wartawan pernah kutepis tangannya karena akan menyentuh laptop itu dengan tangan belepotan minyak bakwan. Aku bahkan sanggup menanti hujan reda, asalkan dia tidak lembab, apalagi basah. Karena itu accident ini seperti sebuah pukulan. Sakit! Tak saja aku telah merasa kehilangan, seolah-olah tanganku sendirilah yang terkulai, menjuntai-juntai tanpa arah. Tangan yang kehilangan tempat mengukir ide dan sekadar kisah.
Penyelenggaraan Workhsop Narrative Reporting yang sukses, ternyata harus kubayar dengan kerusakan laptop! Kesedihanku semakin sempurna ketika suatu pagi aku menerima SMS Freddy Hernawan.
”Maaf, bang, aku sdah tnya sna-sini, screen laptop abg tk dapat diganti”.
Lama aku tercenung. Laptop kecilku tak tertolong lagi. Haruskah aku memahat nisanmu di sini. RIP: ASUS EePC, 15 November 2009.
LihatTutupKomentar
Cancel