Hikayat dua Republik di Tanah Emas

By A. Alexander Mering

Menulis tentang negeri sendiri dari tempat ini terasa menyedihkan. Tempat dimana kita menggaruk kepingan sejarah tanah kelahiran.

Jika bukan nasib, niscaya aku pun takkan pernah tiba di sini. Sebuah Bandar yang ramai tapi bersih. Tempat dimana warganya tidak pernah tampak tergesa-gesa walau bertampang pekerja keras. Mereka menyebutnya Bandaraya Kuching. Kota dimana sejarah bukan dianggap sekedar sampah. Karena itu kota ini tak pernah sepi dari turis asing dari seluruh dunia.

Siang hari, jarang sekali terdengar klakson mobil atau bising knalpot sepeda motor seperti di jalan-jalan Jakarta atau Pontianak yang kotor. Tapi apa boleh buat, aku terus menuliskannya, di lantai 3 hotel City In, tempat aku dan empat rekan berdesak-desakan meninap.

Aku menemukan jejak demokrasi awal di Kalimantan Barat justru dari Kuching Chinese Muzium, di komplek Water Front City yang terletak di pinggiran Sungai Sarawak tahun 2004 lalu. Tapi baru dalam kunjungan yang kesekian kalinya, 28 Desember 2006 aku baru benar-benar menyadarinya sebagai kepingan dari puzzle sejarah Kalimantan Barat ketika berada di puncak kejayaannya sebagai negeri emas.

Jaman Charles Brooke berkuasa bumi kenyalang ini, museum tersebut adalah sebuah bangunan makamah (pengadilan) bagi warga Cina di Sarawak. Tapi setelah M’Sia merdeka, bangunan itu dijadikan museum tempat menyimpan beberapa catatan dan situs peninggalan warga Tionghoa di Sarawak. Di antaranya adalah beberapa peralatan pertambangan emas dan cacatan sejarah warga Tionghoa asal Kalimantan Barat yang kabur ke Sarawak pada pertengahan abad 17. Mereka adalah para penambang emas di Monterado dan Mandor yang ketika itu merupakan dua negara paling kaya di pulau Borneo ini. Bahkan singa pura saat itu tak lebih dari sebuah kampong nelayan yang disebut Tomasek.
Beberapa penulis asing mengidentifikasi kedua negara ini sebagai republic awal di dunia. Karena Republik Amerika sendiri baru berdiri pada 1776. (bersambung)
LihatTutupKomentar
Cancel